MAT 3A-25
Ramalan Ronggo Warsito Dalam Kepresidenan
Ronggo Warsito atau Raden Ngabehi
Rangga Warsito yang memiliki nama asli Bagus Burhan lahir di Surakarta, Jawa
Tengah pada tanggal 15 Maret 1802 adalah pujangga besar budaya Jawa yang hidup
di Kasunanan Surakarta. Ia dianggap sebagai pujangga besar yang terakhir di
tanah Jawa. Ia adalah putra dari Mas Pajangswara (yang juga disebut Mas
Ngabehi Ranggawarsita). Ayahnya adalah cucu dari Yasadipura
II, pujangga utama Kasunanan Surakarta.
Sewaktu muda Burhan terkenal
nakal dan gemar judi. Ia dikirim kakeknya untuk berguru agama Islam pada
Kyai Imam Besari pemimpin Pesantren Gebang Tinatar di desa Tegalsari (Ponorogo). Pada
mulanya ia tetap saja bandel, bahkan sampai kabur ke Madiun. Setelah
kembali ke Ponorogo,
konon, ia mendapat "pencerahan" di Sungai Kedungwatu, sehingga
berubah menjadi pemuda alim yang pandai mengaji. Ketika pulang ke Surakarta,
Burhan diambil sebagai cucu angkat Panembahan Buminoto (adik Pakubuwana
IV). Ia kemudian diangkat sebagai Carik Kadipaten Anom bergelar Mas
Pajanganom tanggal 28 Oktober 1819. Bagus Burhan
diangkat sebagai Panewu Carik Kadipaten Anom bergelar Raden Ngabei
Ronggowarsito, menggantikan ayahnya yang meninggal di penjara Belanda tahun 1830. Lalu setelah
kematian Yasadipura II, RanggaWarsita diangkat sebagai pujangga Kasunanan
Surakarta oleh Pakubawana VII pada tanggal 14 September 1845. Pada masa inilah
Ranggawarsita melahirkan banyak karya sastra. Hubungannya dengan Pakubuwana
VII juga sangat harmonis. Ia juga dikenal sebagai peramal ulung dengan
berbagai macam ilmu kesaktian.
Salah satu ramalan nya yang
sangat terkenal adalah ramalan tentang presiden Indonesia. Menurutnya, ada
tujuh satrio sebagai tokoh yang memerintah wilayah seluas wilayah eks kerajaan
Majapahit ini. Tujuh tokoh tersebut adalah Satrio Kinunjoro Murwo Kuncoro,
Satrio Mukti Wibowo Kesandung Kesampar, Satrio Jinumput Sumelo Atur, Satrio
Lelono Topo Ngrame, Satrio Piningit Hamong Tuwuh, Satrio Boyong Pambukaning
Gapuro, dan Satrio Pinandito Sinisihan Wahyu. Ada pihak yang menafsirkan ke-tujuh
Satrio sebagai berikut, yaitu:
Pertama, SATRIO KINUNJORO MURWO
KUNCORO adalah pemimpin yang akrab dengan penjara (Kinunjoro), yang akan
membebaskan bangsa ini dari belenggu tradisi penjara, kemudian menjadi tokoh
pemimpin yang sangat tersohor di seluruh jagad (Murwo Kuncoro). Tokoh
ditafsirkan sebagai Soekarno, Proklamator dan Presiden Pertama RI. Berkuasa
tahun 1945-1967.
Kedua, SATRIO MUKTI WIBOWO
KESANDUNG KESAMPAR adalah tokoh pemimpin berharta dunia (Mukti), berwibawa dan
ditakuti (Wibowo), namun dirinya dilekatan dengan segala kesalahan dan bernasib
buruk (Kesandung Kesampar). Ditafsirkan sebagai Soeharto, Presiden Kedua RI dan
pemimpin Rezim Orba yang sangat ditakuti. Berkuasa tahun 1967-1998.
Ketiga, SATRIO JINUMPUT SUMELA
ATUR adalah tokoh pemimpin yang diangkat (Jinumput) tetapi hanya dalam masa
transisi atau sekedar menyelingi (Sumela Atur). Ditafsirkan BJ Habibie Presiden
Ketiga RI. Berkuasa tahun 1998-1999.
Keempat, SATRIO LELONO TAPA
NGRAME adalah tokoh pemimpin yang suka mengembara/keliling dunia (Lelono) juga
mempunyai jiwa rohaniawan dan kontroversial (Tapa Ngrame). Ditafsirkan KH.
Abdurrahman Wahid alias Gus Dus, Presiden Keempat RI. Berkuasa tahun 1999-2000.
Kelima, SATRIO PININGIT HAMONG
TUWUH adalah tokoh pemimpin yang muncul membawa kharisma keturunan dari
moyangnya (Hamong Tuwuh). Ditafsirkan Megawati Soekarnoputri, Presiden Kelima
RI. Berkuasa tahun 2000-2004.
Keenam, SATRIO BOYONG PAMBUKANING
GAPURO adalah tokoh pemimpin yang berpindah tempat (boyong) dari menteri
menjadi presiden dan akan menjadi peletak dasar sebagai pembuka gerbang menuju
puncak zaman keemasan (Pambukaning Gapuro). Ditafsirkan Susilo Bambang Yudhoyono.
Ia akan selamat memimpin bangsa dengan baik jika mau tobat dan mampu
mensinergikan dengan kekuatan Sang Pemimpin Ketujuh SATRIO PINANDITO SINISIHAN
WAHYU.
Ketujuh, SATRIO PINANDITO
SINISIHAN WAHYU dinilai tokoh pemimpin sangat religius yang digambarkan resi
begawan (Pinandito/ ulama) yang rendah hati, memimpin atas dasar bimbingan
syariat Allah SWT (Sinisihan Wahyu).
Namun, menurut ramalan Jayabaya
(1135-1157), Indonesia hanya akan mencapai kemakmuran jika dipimpin oleh
presiden yang mempunyai nama akhiran sesuai dengan urutan “Notonogoro” yang
dipisahlan menjadi No-To-No-Go-Ro. Dan presiden Indonesia yang memiliki nama
akhiran yang cocok dengan ramalan ini adalah Soekarno, Soeharto, dan Susilo
Bambang Yudhoyono.
Menurut ramalan ini, siapapunyang
memimpin Indonesia namun tidak memiliki nama akhiran seperti yang di ramalkan,
maka tidak akan terjadi kemakmuran di Indonesia dan presiden itu tidak akan
menyelesaikan tugasnya hingga 5 tahun. Misalnya
BJ Habibie, Gus Dur, dan Megawati.
Menurut Ki Sabdopanditoratu,
terkait NOTONOGORO dalam jangka atau ramalan Jayabaya tidak tentang jumlah
orangnya, namun tentang karakter orangnya. Maka jika dicermati dengan baik,
ramalan Jayabaya tentang NOTONOGORO yang selalu dihubungkan dengan nama sosok
orang per orang adalah salah. Yang benar adalah pemahaman tentang makna NOTO
NOGORO yang bisa dimaknai sebagai penataan atau pengaturan (noto) dan negara
(nogoro).
Lalu bagaimana dengan presiden
Indonesia kali ini? Apakah Bapak Jokowi ini termasuk dalam criteria
ramalan-ramalan diatas? Kita lihat saja kinerja beliau dalam 5 tahun ke depan
ini.
Referensi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar