Rabu, 10 Desember 2014

Ramalan Ronggo Warsito Dalam Kepresidenan

MAT 3A-25

Ramalan Ronggo Warsito Dalam Kepresidenan


Ronggo Warsito atau Raden Ngabehi Rangga Warsito yang memiliki nama asli Bagus Burhan lahir di Surakarta, Jawa Tengah pada tanggal 15 Maret 1802 adalah pujangga besar budaya Jawa yang hidup di Kasunanan Surakarta. Ia dianggap sebagai pujangga besar yang terakhir di tanah Jawa.  Ia adalah putra dari Mas Pajangswara (yang juga disebut Mas Ngabehi Ranggawarsita). Ayahnya adalah cucu dari Yasadipura II, pujangga utama Kasunanan Surakarta.
Sewaktu muda Burhan terkenal nakal dan gemar judi. Ia dikirim kakeknya untuk berguru agama Islam pada Kyai Imam Besari pemimpin Pesantren Gebang Tinatar di desa Tegalsari (Ponorogo). Pada mulanya ia tetap saja bandel, bahkan sampai kabur ke Madiun. Setelah kembali ke Ponorogo, konon, ia mendapat "pencerahan" di Sungai Kedungwatu, sehingga berubah menjadi pemuda alim yang pandai mengaji. Ketika pulang ke Surakarta, Burhan diambil sebagai cucu angkat Panembahan Buminoto (adik Pakubuwana IV). Ia kemudian diangkat sebagai Carik Kadipaten Anom bergelar Mas Pajanganom tanggal 28 Oktober 1819. Bagus Burhan diangkat sebagai Panewu Carik Kadipaten Anom bergelar Raden Ngabei Ronggowarsito, menggantikan ayahnya yang meninggal di penjara Belanda tahun 1830. Lalu setelah kematian Yasadipura II, RanggaWarsita diangkat sebagai pujangga Kasunanan Surakarta oleh Pakubawana VII pada tanggal 14 September 1845. Pada masa inilah Ranggawarsita melahirkan banyak karya sastra. Hubungannya dengan Pakubuwana VII juga sangat harmonis. Ia juga dikenal sebagai peramal ulung dengan berbagai macam ilmu kesaktian.
Salah satu ramalan nya yang sangat terkenal adalah ramalan tentang presiden Indonesia. Menurutnya, ada tujuh satrio sebagai tokoh yang memerintah wilayah seluas wilayah eks kerajaan Majapahit ini. Tujuh tokoh tersebut adalah Satrio Kinunjoro Murwo Kuncoro, Satrio Mukti Wibowo Kesandung Kesampar, Satrio Jinumput Sumelo Atur, Satrio Lelono Topo Ngrame, Satrio Piningit Hamong Tuwuh, Satrio Boyong Pambukaning Gapuro, dan Satrio Pinandito Sinisihan Wahyu. Ada pihak yang menafsirkan ke-tujuh Satrio sebagai berikut, yaitu:

Pertama, SATRIO KINUNJORO MURWO KUNCORO adalah pemimpin yang akrab dengan penjara (Kinunjoro), yang akan membebaskan bangsa ini dari belenggu tradisi penjara, kemudian menjadi tokoh pemimpin yang sangat tersohor di seluruh jagad (Murwo Kuncoro). Tokoh ditafsirkan sebagai Soekarno, Proklamator dan Presiden Pertama RI. Berkuasa tahun 1945-1967.

Kedua, SATRIO MUKTI WIBOWO KESANDUNG KESAMPAR adalah tokoh pemimpin berharta dunia (Mukti), berwibawa dan ditakuti (Wibowo), namun dirinya dilekatan dengan segala kesalahan dan bernasib buruk (Kesandung Kesampar). Ditafsirkan sebagai Soeharto, Presiden Kedua RI dan pemimpin Rezim Orba yang sangat ditakuti. Berkuasa tahun 1967-1998.

Ketiga, SATRIO JINUMPUT SUMELA ATUR adalah tokoh pemimpin yang diangkat (Jinumput) tetapi hanya dalam masa transisi atau sekedar menyelingi (Sumela Atur). Ditafsirkan BJ Habibie Presiden Ketiga RI. Berkuasa tahun 1998-1999. 

Keempat, SATRIO LELONO TAPA NGRAME adalah tokoh pemimpin yang suka mengembara/keliling dunia (Lelono) juga mempunyai jiwa rohaniawan dan kontroversial (Tapa Ngrame). Ditafsirkan KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dus, Presiden Keempat RI. Berkuasa tahun 1999-2000.

Kelima, SATRIO PININGIT HAMONG TUWUH adalah tokoh pemimpin yang muncul membawa kharisma keturunan dari moyangnya (Hamong Tuwuh). Ditafsirkan Megawati Soekarnoputri, Presiden Kelima RI. Berkuasa tahun 2000-2004.

Keenam, SATRIO BOYONG PAMBUKANING GAPURO adalah tokoh pemimpin yang berpindah tempat (boyong) dari menteri menjadi presiden dan akan menjadi peletak dasar sebagai pembuka gerbang menuju puncak zaman keemasan (Pambukaning Gapuro). Ditafsirkan Susilo Bambang Yudhoyono. Ia akan selamat memimpin bangsa dengan baik jika mau tobat dan mampu mensinergikan dengan kekuatan Sang Pemimpin Ketujuh SATRIO PINANDITO SINISIHAN WAHYU.

Ketujuh, SATRIO PINANDITO SINISIHAN WAHYU dinilai tokoh pemimpin sangat religius yang digambarkan resi begawan (Pinandito/ ulama) yang rendah hati, memimpin atas dasar bimbingan syariat Allah SWT (Sinisihan Wahyu).

Namun, menurut ramalan Jayabaya (1135-1157), Indonesia hanya akan mencapai kemakmuran jika dipimpin oleh presiden yang mempunyai nama akhiran sesuai dengan urutan “Notonogoro” yang dipisahlan menjadi No-To-No-Go-Ro. Dan presiden Indonesia yang memiliki nama akhiran yang cocok dengan ramalan ini adalah Soekarno, Soeharto, dan Susilo Bambang Yudhoyono.
Menurut ramalan ini, siapapunyang memimpin Indonesia namun tidak memiliki nama akhiran seperti yang di ramalkan, maka tidak akan terjadi kemakmuran di Indonesia dan presiden itu tidak akan menyelesaikan tugasnya hingga 5 tahun. Misalnya  BJ Habibie, Gus Dur,  dan Megawati.
Menurut Ki Sabdopanditoratu, terkait NOTONOGORO dalam jangka atau ramalan Jayabaya tidak tentang jumlah orangnya, namun tentang karakter orangnya. Maka jika dicermati dengan baik, ramalan Jayabaya tentang NOTONOGORO yang selalu dihubungkan dengan nama sosok orang per orang adalah salah. Yang benar adalah pemahaman tentang makna NOTO NOGORO yang bisa dimaknai sebagai penataan atau pengaturan (noto) dan negara (nogoro).
Lalu bagaimana dengan presiden Indonesia kali ini? Apakah Bapak Jokowi ini termasuk dalam criteria ramalan-ramalan diatas? Kita lihat saja kinerja beliau dalam 5 tahun ke depan ini.



Referensi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar